PEMBELAJARAN YANG
MENDIDIK MURIT MENGAEMBANGKAN POTENSI DIRI
1. Pengantar
Pendidikan yang bermutu membantu setiap anak untuk
mengembangkan sepenuhnya kemampuan bertanggung jawab terhadap diri sendiri
serta berperan sebagai warganegara. Pendidikan harus membangun rasa percaya
diri baik pada anak perempuan maupun laki-laki, dan membantu mereka
mengembangkan potensi diri.
Dalam masyarakat yang adil, anak perempuan maupun
laki-laki memiliki hak yang sama, namun kadang-kadang hak-hak mereka dalam
pelayanan pendidikan terabaikan. Padahal,
peran laki-laki maupun perempuan sama-sama penting dalam pembangunan
masyakarat. Perempuan yang berpendidikan lebih mampu membuat keluarga mereka
lebih sehat, memberikan pendidikan anak, dan terbuka kemungkinan baginya untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Sebaliknya, perempuan yang pendidikannya
kurang, lebih mudah terkena tindakan kekerasan (fisik maupun non fisik), dan
memiliki tingkat kesehatan dan ekonomi
yang rendah.
Seringkali secara tidak sengaja atau tanpa disadari,
para guru memperlakukan murid perempuan dan laki-laki secara berbeda dalam
proses pembelajaran. Hal ini dilakukan karena menurut mereka murid perempuan
dan murid laki-laki perlu diperlakukan secara berbeda sesuai dengan peran yang
didasarkan pada jenis kelamin. Sayangnya asumsi
tentang peran perempuan dan laki-laki yang dipegang oleh guru tersebut dapat
mengakibatkan ketidakadilan dalam memberikan layanan pendidikan yang terbaik
bagi murid laki dan perempuan. Tentu saja penting menghargai perbedaan antara
anak perempuan dan laki, asal pembedaan itu tidak mengakibatkan pembatasan
terhadap kesempatan anak perempuan maupun laki dalam mengembangkan potensi
mereka.
Dalam kegiatan ini para peserta akan berlatih
mengembangkan kepekaan akan kemungkinan adanya budaya dan kegiatan di
sekolah/kelas yang mungkin merugikan anak perempuan dan anak laki-laki.
2. Tujuan
2.1 Peserta memperdalam pengertian
mereka bahwa pendidikan dapat menyebabkan perbedaan peran, tanggung jawab, dan
peluang bagi murid laki-laki dan perempuan.
2.2 Peserta menyadari bagaimana
identitas yang berbasis jender dibangun lewat perilaku yang tidak disadari
dalam ruang kelas.
2.3 Peserta mengidentifikasi
budaya/kegiatan dalam pembelajaran di kelas/ sekolah yang bias jender dan cara
belajar/pemberian kesempatan yang setara bagi perempuan maupun laki-laki di
kelas mereka
2.4 Peserta mampu merancang layanan
atau perlakuan terhadap murid laki dan perempuan yang memberikan peluang yang
sama untuk berbuat.
3. Urutan langkah dalam kegiatan
pelatihan
4. Penyajian
4.1 Memperdalam Pemahaman tentang Kesetaraan Jender (10 Menit)
Pengantar
oleh fasilitator (10 menit)
1.
Fasilitator memberikan
informasi singkat tentang pengertian jenis kelamin dan jender dengan
menggunakan transparansi yang sudah disiapkan. Diulas singkat perbedaan antara
jenis kelamin dan jender. Jenis kelamin berkenaan dengan perbedaan laki dan
perempuan secara biologis sedangkan jender adalah berkaitan dengan perbedaan
yang dibuat oleh masyarakat. Konsep sosial jender memiliki kemungkinan
membatasi kesempatan bagi anak perempuan dan laki-laki dalam mengembangkan
potensi diri.
2.
Membahas kemungkinan
budaya/perlakuan sekolah dan guru yang merugikan murid perempuan dan laki-laki dalam
mengembangkan potensi diri.
4.2 Diskusi (20 menit)
Peserta
berdiskusi mengidentifikasi kebiasaan sekolah/kelas dan praktek-praktek
pembelajaran di dalam kelas yang mungkin bisa merugikan murid perempuan atau
laki-laki. Tayangkan format yang terdiri atas empat kolom: kasus, siapa yang
dirugikan, bagaimana dia dirugikan, dan apa yang sebaiknya dilakukan oleh guru
dan sekolah. Hasil diskusi ditulis di kertas plano dan kemudian dipajangkan.
Lihat format pengisian pada lampiran 2 dan contoh pengisian pada lampiran 1.
4.3
Belanja ide / kunjung karya (10 menit)
Peserta
saling berkunjung ke kelompok lain untuk memperluas wawasan.
4.4 Melaporkan Kunjung Karya (10 menit)
Fasilitator
memanggil beberapa peserta (laki-laki dan perempuan) untuk menyampaikan
kesimpulan mereka setelah melihat hasil diskusi semua kelompok. Salah satu
pertanyaan yang bisa ditanyakan adalah Siapakah
yang ternyata paling banyak dirugikan ? Dan sikap dan kesadaran apa yang
sebaiknya dimiliki guru ?. Biasanya kesimpulannya adalah bahwa anak
perempuan lebih sering dirugikan. Dengan kesimpulan ini maka para guru
diharapkan lebih sensitif dalam hal jender sehingga bisa menciptakan
pembelajaran yang lebih adil baik bagi murid perempuan maupun laki-laki.
4.5 Penutup (10 menit)
Untuk
memantapkan kemampuan peserta dalam modul ini maka kegiatan Penutup dikelola
dalam 3 kegiatan kecil, yaitu:
Kesimpulan
(5 menit)
Tayangkan
komentar penutup untuk materi unit lima ini.
Tugas
observasi kelas (5 menit)
Ditayangkan
pertanyaan-pertanyaan yang bisa dipakai dalam observasi kelas, tapi sebutkan
juga bahwa peserta bisa menghasilkan sendiri pertanyaan-pertanyaan lain. Kepada
peserta bisa dibagikan lembar yang berisi pertanyaan-pertanyaan tersebut (lihat
lampiran 3).
Lampiran 1
Contoh Pengisian
Format (Bahan untuk Fasilitator)
No.
|
Kasus
|
Siapa
yang dirugikan
|
Bagaimana
dia dirugikan
|
Apa
yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran
|
1.
|
Mendidik para perempuan tidak sepenting mendidik
laki-laki oleh karena peran utama perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga
|
Murid Perempuan
|
Murid Perempuan tidak memiliki banyak alternatif
pilihan profesi. Menjadi ibu rumah tangga merupakan salah satu alternatif
profesi.
|
· Guru mempromosikan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan dan
laki-laki
· Guru menciptakan kesempatan bagi siswa dan siswi untuk membahas pekerjaan-pekerjaan ‘non-tradisional’
seperti dokter perempuan, pengusaha, kepala sekolah, spesialis komputer,
politisi, pria perawat, sekretaris, pengacara, dan lain-lain.
|
2.
|
Dalam kelas IPA biasanya perempuan yang menyusun
laporan sementara laki-laki yang menangani peralatan dan melakukan eksperimen
|
Murid Perempuan
Murid Laki-laki
|
Murid Perempuan menjadi tidak terampil menangani
peralatan eksperimen
Murid Laki-laki tidak terampil mengungkapkan gagasan
secara tertulis dan sistematis
|
· Para siswa mendiskusikan bersama, cara-cara mengerjakan tugas.
· Tanggung jawab dan kepemimpinan serta peran-peran pembantu dibahas dan
dibagi secara adil di antara siswa dan
siswi.
· Topik-topik IPA sebaiknya dipilih yang sesuai dengan minat baik anak
perempuan maupun laki-laki.
|
3.
|
Para laki-laki mendapat lebih banyak perhatian dan
waktu dari guru dari pada perempuan oleh karena mereka lebih ribut atau duduk
lebih dekat dengan guru
|
Murid Perempuan
Murid Laki-laki
|
Tidak mendapatkan perhatian dari guru. Kesempatan
belajar hilang karena kelas selalu ribut.
Murid Laki-laki tidak belajar mengendalikan dan
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan (situasi belajar di kelas) dan
kehilangan kesempatan belajar
|
· Pengaturan tempat duduk diubah melalui belajar kelompok sehingga anak
bisa berkeliling di kelas.
· Guru dan siswa menetapkan bersama tata tertib interaksi dalam kelas,
misalnya para siswa harus bergiliran dalam belajar.
· Di dalam kelas guru lebih berkeliling supaya dapat berinteraksi dengan
semua anak dan memberikan perhatian baik kelompok maupun individu.
· Guru mengajari anak-anak ketrampilan mendengarkan dan menghargai.
· Guru mencontohkan perilaku tanpa kekerasan.
· Guru memastikan bahwa para siswa belajar tentang perbedaan individu dan
bahwa tiap individu berhak untuk dihargai.
|
No.
|
Kasus
|
Siapa
yang dirugikan
|
Bagaimana
dia dirugikan
|
Apa
yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran
|
4.
|
Biasanya lebih banyak anak perempuan dari pada
laki-laki yang bermain olahraga di sekolah
|
Murid Perempuan
|
Murid perempuan kurang memiliki kesempatan mengembangkan
kesehatan fisik di masa pertumbuhan (misalnya membangun otot dan tulang yang
kuat)
|
· Tawarkan aktifitas yang mendorong anak-anak perempuan untuk aktif secara
fisik (kegiatan di luar ruangan)
· Promosikan kegiatan olah raga yang populer untuk anak laki-laki maupun
perempuan. Jamin bahwa olah raga tersebut aman bagi anak perempuan.
· Sampaikan kepada orang tua agar memberikan makanan yang sehat bagi anak
laki-laki maupun perempuan
|
5.
|
Guru kurang mendukung para murid perempuan untuk
menjadi pemimpin karena kepemimpinan
dianggap sebagai peran laki-laki.
|
Murid Perempuan
|
Tidak memiliki kesempatan belajar menjadi pemimpin
|
· Guru berperan sebagai model bagi siswa agar siswa belajar sesuatu yang
berbeda
· Guru mendorong laki-laki dan perempuan untuk melakukan berbagai tugas,
misalnya membersihkan kelas, bekerja di lapangan
|
6.
|
Para murid laki-laki kurang dianjurkan untuk belajar
melakukan pekerjaan domestik (memasak, mencuci) oleh karena ini dianggap
sebagai bagian dari peran perempuan.
|
Murid Laki-laki
|
Tidak memiliki kesempatan belajar melakukan pekerjaan
domestik
|
|
7.
|
Para murid perempuan sering menghadapi tindak kekerasan
verbal dan non-verbal dari laki-laki (misal. Penghinaan, cubitan, pukulan,
pelecehan, ledekan, dsb)
|
Murid perempuan
|
Murid Perempuan tidak berani mencoba karena merasa
tertekan.
Murid perempuan tanpa sadar mengembangkan konsep diri
sebagai makhluk yang lemah
|
· Mengatur interaksi dalam kelas
· Mendorong diskusi kelompok tentang perilaku yang tepat dan tidak tepat
· Guru mengajak siswa membuat peraturan kelas untuk mengatasi kekerasan
evrbal dan non verbal (umpatan, ejekan, pelecehan, dll)
|
8.
|
Biasanya di dinding ruang kelas lebih banyak
dipajangkan gambar laki-laki daripada
perempuan
|
Murid perempuan
|
Murid perempuan tanpa sadar mengembangkan konsep diri
sebagai makhluk yang lemah
|
Guru menunjukkan contoh-contoh bahwa dalam kehidupan
nyata ada pahlawan dan ilmuwan baik berkelamin laki-laki maupun perempuan.
|
No.
|
Kasus
|
Siapa
yang dirugikan
|
Bagaimana
dia dirugikan
|
Apa
yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran
|
9.
|
Guru sering memuji anak perempuan untuk perilaku yang
lemah lembut, penampilan yang cantik, dan pekerjaan yang rapi; sedangkan anak
laki-laki dipuji atas kepandaian dan pekerjaan yang baik.
|
Murid perempuan
Murid laki-laki
|
Murid perempuan akan memandang bahwa untuk dihargai
hanya perlu penampilan fisik sehingga tidak merasa perlu mengembangkan
kepandaiannya.
Murid laki-laki merasa tidak perlu memperhatikan
perilaku dan penampilan yang menyenangkan
|
· Guru memberikan pujian yang sama pada laki-laki dan perempuan, baik untuk
perilaku, penampilan, kepandaian, kecerdikan, dan hasil pekerjaan
· Guru selalu melakukan evaluasi, apakah sudah cukup mendorong siswa
laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran secara seimbang
|
10.
|
Sejumlah buku teks yang diterbitkan swasta maupun
pemerintah mengandung bias
jender. Dalam beberapa buku, misalnya,
disebutkan tugas ibu lebih mengurus rumah dan bapak berkerja mencari
nafkah. Atau, dalam menceritakan profesi perawat selalu digambarkan
perempuan, tetapi untuk dokter digambarkan laki-laki.
|
Murid perempuan
Murid laki-laki
|
Murid perempuan memiliki konsep diri yang terbatas pada
profesi ibu rumah tangga saja
Murid laki-laki beranggapan pekerjaan domestik bukan
pekerjaan laki-laki
|
· Guru melengkapi ilustrasi dengan contoh-contoh profesi lain yang lintas
jender (dapat diraih baik oleh laki-laki maupun perempuan)
· Guru membuka peluang diskusi untuk memperluas wawasan para murid tentang
peran jender
|
Lampiran 2
Format Diskusi untuk
Peserta
No.
|
Kasus
|
Siapa
yang dirugikan
|
Bagaimana
dia dirugikan
|
Apa
yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
LAMPIRAN 3
CONTOH LEMBAR OBSERVASI KELAS
- Catatlah kegiatan guru yang memperlakukan perbedaan siswa laki-laki dan perempuan ¡
................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
- Perlakukan apa saja yang dilakukan anak laki-laki/perempuan ketika melakukan kegiatan kelompok ¿
................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
- Catatlah permasalahan bias gender yang Anda temukan ketika PBM berlangsung ¡
................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
- Apakah dalam PBM guru sudah dapat mendesain pembelajaan yang mendidik untuk mengembangkan potensi diri siswa ¿
................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
Jelaskan
pendapat Anda ¡
................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
- Menurut Anda, pihak mana yang sering dirugikan saat pembelajaran berlangsung ¿
................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
Tulis
kesan Anda ¡
................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
Kesetaraan
Gender dalam Pendidikan
BANYAK laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang
berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa.
Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin
menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak
memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya.
Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya.
Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional,
dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan
keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri
pula bagi perempuan.
Bias Gender
Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki
maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender
dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh
masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah,
tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang
selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak
anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan
para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan ternyata sarat dengan bias
gender.
Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan
gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan
kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh laki-laki.
Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas
mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin
perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan
ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering
ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas.
Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan
kerja publik bagi laki-laki.
Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika
seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh
cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak
perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang
boleh menangis dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya.
Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa
perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat
nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan
sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah: laki-laki yang membawa
bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti
membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalamupacara resmi sudah selayaknya menjadi
tugas perempuan.
Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang
layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan.
Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak
perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani.
Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial
mereka di masa datang.
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan
tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya
ia akan disebut banci, penakut ata bukan laki-laki sejati.
William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih
ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang.
Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.
Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak
lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap
masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu,
namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak mami".
Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima
hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak mempunyai
persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di kelas.
Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa
mereka tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh
kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh
laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya.
Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah
putih nan cantik, kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna
bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya.
Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan
laki-laki. Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca buku.
Keterlibatan Semua Pihak
Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap fenomena bias gender dalam pendidikan ini? Keterlibatan semua pihak sangat
dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih egaliter.
Kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling
melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan
berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang berwawasan gender
diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.
Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan
laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan
"aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu
melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di
bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru.
Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru
akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui
proses pembelajaran yang peka gender. (18)
Dra Sri Suciati, M.Hum, Dosen FPBS IKIP PGRI Semarang, wakil sekretaris PGRI Jawa Tengah.
BANYAK laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang
berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa.
Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin
menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak
memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya.
Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya.
Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional,
dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan
keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri
pula bagi perempuan.
Bias Gender
Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki
maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender
dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh
masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.
Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah,
tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang
selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak
anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.
Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan
para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan ternyata sarat dengan bias
gender.
Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan
gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan
kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh laki-laki.
Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas
mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin
perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.
Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan
ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering
ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas.
Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan
kerja publik bagi laki-laki.
Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika
seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh
cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak
perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang
boleh menangis dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya.
Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa
perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat
nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan
sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah: laki-laki yang membawa
bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti
membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalamupacara resmi sudah selayaknya menjadi
tugas perempuan.
Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang
layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan.
Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak
perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani.
Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial
mereka di masa datang.
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan
tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya
ia akan disebut banci, penakut ata bukan laki-laki sejati.
William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih
ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang.
Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.
Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak
lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap
masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu,
namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak mami".
Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima
hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak mempunyai
persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di kelas.
Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa
mereka tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh
kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh
laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya.
Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah
putih nan cantik, kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna
bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya.
Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan
laki-laki. Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca buku.
Keterlibatan Semua Pihak
Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap fenomena bias gender dalam pendidikan ini? Keterlibatan semua pihak sangat
dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih egaliter.
Kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling
melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan
berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang berwawasan gender
diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.
Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan
laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan
"aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu
melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di
bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru.
Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru
akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui
proses pembelajaran yang peka gender. (18)
Dra Sri Suciati, M.Hum, Dosen FPBS IKIP PGRI Semarang, wakil sekretaris PGRI Jawa Tengah.